Tak bisa kita pungkiri bahwa kehidupan manusia
sangatlah tergantung pada air. Air yang dimaksud tentu bukan air sembarangan,
melainkan air yang kualitasnya terjamin bersih dan kuantitasnya juga cukup. Menurut
FAO (2010) Indonesia memiliki banyak sekali sumber air potensial yakni mencakup
80 % air permukaan (misalnya air sungai dan danau) dan 20 % air tanah. Namun, potensi air
permukaan sebesar 80% itu malah hanya dimanfaatkan sebesar 21% dan sebagian
besar masyarakat menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhannya.
Ketergantungan pada air tanah
semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Contohnya di
Kabupaten Lembang, penduduk yang mendapatkan akses air PDAM hanya sekitar 27%.
Nah, sisanya? Tentu saja menggunakan sumber lain, antara lain air tanah. Tapi
tanpa kita sadari, pengambilan air tanah terus menerus ini memberi dampak penurunan
muka air tanah. Berdasarkan penelitian Murad Ali (2008), terjadi penurunan muka
air tanah hingga 30 m di Cekungan Air Tanah Bandung – Soreang. Penurunan muka
air tanah ini bisa disebabkan banyak faktor. Yang pertama, karena jumlah air
yang diambil jauh lebih banyak daripada air hujan yang terserap dan yang kedua
karena daerah untuk meresapkan air hujan semakin semakin akibat makin banyaknya
kawasan hutan yang menjadi pemukiman, perkebunan, dan kegiatan pariwisata. Hal
ini menyebabkan sebagian air hujan tidak bisa meresap ke tanah, melainkan
mengalir ke saluran drainase menuju sungai. Well,
hal ini juga yang menyebabkan drainase dan sungai kelebihan tampungan sehingga
meluap dan banjir.
Semakin menurunnya muka air tanah
ini lama kelamaan akan menyebabkan kekeringan di daerah yang bersangkutan.
Seperti misalnya yang baru-baru terjadi di kawasan Cekungan Air Tanah Lembang.
Berdasarkan informasi dari Pikiran Rakyat (2012) diberitakan bahwa beberapa
kecamatan di Kabupaten Bandung Barat mengalami kesulitan mengakses air bersih
karena air tanah yang biasa mereka gunakan tidak ada airnya. Selain masalah
kelangkaan, air tanah yang semakin berkurang dapat menyebabkan amblesnya tanah.
Amblesan tanah
tidak dapat dilihat seketika, namun dalam kurun waktu yang lama dan terjadi
pada daerah yang luas. Bisa dibayangkan kan kalau tanah sampai ambles atau
longsong? Bisa-bisa mengakibatkan masuknya air laut ke daratan dan rusaknya
bangunan serta memakan korban jiwa.
Nah, itu masalah kuantitas air tanah. Kualitas air
tanah juga tidak kalah pentingnya dipertimbangkan. Tidak semua air tanah
memiliki kualitas yang baik, seperti yang terjadi di kawasan Bandung Timur
(Pikiran Rakyat, 2012) yang karena kondisi alami tanah tersebut sehingga
rasanya asin dan warnanya yang kekuningan. Selain itu kualitas air juga bisa
terganggu karena pencemaran tanah dari septic
tank / limbah industri yang mengenai air tanah. Mungkin sudah jadi
kebiasaan masyarakat Indonesia menghadapi masalah ini dengan cara memasak air. Tapi
tahu ga sih sebenarnya cara ini belum menjamin bahwa air tersebut aman untuk
diminum karena pemanasan (oksidasi) dapat memicu terjadi reaksi-reaksi lain pada
air. Seperti meningkatnya kandungan nitrat dalam air yang dapat menyebabkan methemoglobinemia
terkhusus pada bayi (baby blue syndrom).
Dan dampak lainnya adalah isu pemborosan energi. Ya iya dong... Kita memasak
air tapi ternyata efeknya itu cuma mematikan kuman tetapi tidak
menghilangkan zat bahaya lain di dalam air tersebut. Oleh karena itu, bagi kita pengguna air khususnya
tanah di rumah, sebaiknya menggunakan air dengan bijak sehingga keberlanjutan
sumber air kita tetap terjaga.
Kita harus tau, bahwa sebenarnya kita perlu suatu teknologi
yang bisa menjamin kebersihan air minum kita. Salah satunya adalah pemurni air
seperti misalnya produk Pure It dari Unilever yang telah terbukti dapat
menghasilkan air yang terbebas dari zat berbahaya, bakteri, bahkan virus
sekalipun. Teknologi on site treatment seperti
ini yang sebenarnya paling cocok diterapkan di Indonesia mengingat banyaknya
daerah di Indonesia yang belum memiliki jaminan air bersih.
Dengan demikian,
daerah yang kualitas air tanahnya belum baik dapat menggunakan teknologi ini.
Air PDAM juga tidak bisa langsung diminum mengingat keadaan perpipaan yang
sudah tua dan kandungan klor yang cukup tinggi sehingga membutuhkan pengolahan
sebelum diminum.
Menggunakan air tanah memang suatu dilematika bagi
kita karena PDAM di Indonesia juga belum dapat memenuhi kebutuhan air bersih
baik dari segi kualitas dan kuantitas. Namun di sisi lain, air tanah sebagai sumber air yang paling murah dan mudah diakses oleh masyarakat juga harus dijaga kelangsungannya.
Think again.
Nature will give
you good impacts if you keep its sustainability.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar