Sabtu, 29 Desember 2012

Air Tanah, Sebuah Dilematika Potensi Sumber Daya

Tak bisa kita pungkiri bahwa kehidupan manusia sangatlah tergantung pada air. Air yang dimaksud tentu bukan air sembarangan, melainkan air yang kualitasnya terjamin bersih dan kuantitasnya juga cukup. Menurut FAO (2010) Indonesia memiliki banyak sekali sumber air potensial yakni mencakup 80 % air permukaan (misalnya air sungai dan  danau) dan 20 % air tanah. Namun, potensi air permukaan sebesar 80% itu malah hanya dimanfaatkan sebesar 21% dan sebagian besar masyarakat menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhannya.

Ketergantungan pada air tanah semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Contohnya di Kabupaten Lembang, penduduk yang mendapatkan akses air PDAM hanya sekitar 27%. Nah, sisanya? Tentu saja menggunakan sumber lain, antara lain air tanah. Tapi tanpa kita sadari, pengambilan air tanah terus menerus ini memberi dampak penurunan muka air tanah. Berdasarkan penelitian Murad Ali (2008), terjadi penurunan muka air tanah hingga 30 m di Cekungan Air Tanah Bandung – Soreang. Penurunan muka air tanah ini bisa disebabkan banyak faktor. Yang pertama, karena jumlah air yang diambil jauh lebih banyak daripada air hujan yang terserap dan yang kedua karena daerah untuk meresapkan air hujan semakin semakin akibat makin banyaknya kawasan hutan yang menjadi pemukiman, perkebunan, dan kegiatan pariwisata. Hal ini menyebabkan sebagian air hujan tidak bisa meresap ke tanah, melainkan mengalir ke saluran drainase menuju sungai. Well, hal ini juga yang menyebabkan drainase dan sungai kelebihan tampungan sehingga meluap dan banjir.

Semakin menurunnya muka air tanah ini lama kelamaan akan menyebabkan kekeringan di daerah yang bersangkutan. Seperti misalnya yang baru-baru terjadi di kawasan Cekungan Air Tanah Lembang. Berdasarkan informasi dari Pikiran Rakyat (2012) diberitakan bahwa beberapa kecamatan di Kabupaten Bandung Barat mengalami kesulitan mengakses air bersih karena air tanah yang biasa mereka gunakan tidak ada airnya. Selain masalah kelangkaan, air tanah yang semakin berkurang dapat menyebabkan amblesnya tanah. Amblesan tanah tidak dapat dilihat seketika, namun dalam kurun waktu yang lama dan terjadi pada daerah yang luas. Bisa dibayangkan kan kalau tanah sampai ambles atau longsong? Bisa-bisa mengakibatkan masuknya air laut ke daratan dan rusaknya bangunan serta memakan korban jiwa.

Nah, itu masalah kuantitas air tanah. Kualitas air tanah juga tidak kalah pentingnya dipertimbangkan. Tidak semua air tanah memiliki kualitas yang baik, seperti yang terjadi di kawasan Bandung Timur (Pikiran Rakyat, 2012) yang karena kondisi alami tanah tersebut sehingga rasanya asin dan warnanya yang kekuningan. Selain itu kualitas air juga bisa terganggu karena pencemaran tanah dari septic tank / limbah industri yang mengenai air tanah. Mungkin sudah jadi kebiasaan masyarakat Indonesia menghadapi masalah ini dengan cara memasak air. Tapi tahu ga sih sebenarnya cara ini belum menjamin bahwa air tersebut aman untuk diminum karena pemanasan (oksidasi) dapat memicu terjadi reaksi-reaksi lain pada air. Seperti meningkatnya kandungan nitrat dalam air yang dapat menyebabkan methemoglobinemia terkhusus pada bayi (baby blue syndrom). Dan dampak lainnya adalah isu pemborosan energi. Ya iya dong... Kita memasak air tapi ternyata efeknya itu cuma mematikan kuman tetapi tidak menghilangkan  zat bahaya  lain di dalam air tersebut. Oleh karena itu, bagi kita pengguna air khususnya tanah di rumah, sebaiknya menggunakan air dengan bijak sehingga keberlanjutan sumber air kita tetap terjaga. 

Kita harus tau, bahwa sebenarnya kita perlu suatu teknologi yang bisa menjamin kebersihan air minum kita. Salah satunya adalah pemurni air seperti misalnya produk Pure It dari Unilever yang telah terbukti dapat menghasilkan air yang terbebas dari zat berbahaya, bakteri, bahkan virus sekalipun. Teknologi on site treatment seperti ini yang sebenarnya paling cocok diterapkan di Indonesia mengingat banyaknya daerah di Indonesia yang belum memiliki jaminan air bersih.

Dengan demikian, daerah yang kualitas air tanahnya belum baik dapat menggunakan teknologi ini. Air PDAM juga tidak bisa langsung diminum mengingat keadaan perpipaan yang sudah tua dan kandungan klor yang cukup tinggi sehingga membutuhkan pengolahan sebelum diminum.

Menggunakan air tanah memang suatu dilematika bagi kita karena PDAM di Indonesia juga belum dapat memenuhi kebutuhan air bersih baik dari segi kualitas dan kuantitas. Namun di sisi lain, air tanah sebagai sumber air yang paling murah dan mudah diakses oleh masyarakat juga harus dijaga kelangsungannya.

Think again.

Nature will give you good impacts if you keep its sustainability.

Sumber referensi:

http://heruhendrayana.staff.ugm.ac.id/web/down/dampakabt.pdf
http://www.pikiran-rakyat.com/node/204649
http://www.pikiran-rakyat.com/node/178297http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&cad=rja&ved=0CEYQFjAG&url=http%3A%2F%2Flontar.ui.ac.id%2Ffile%3Ffile%3Ddigital%2F123201-GEO.038-08-Wilayah%2520Penurunan-Analisis.pdf&ei=iQLfUJGxM4mnrAf90IDIAg&usg=AFQjCNGf2Y38Jo-8tr4KWnN04xn6MJNf5A&sig2=d-aXahyfPPPMgDEpgaMPnQ&bvm=bv.1355534169,d.bmk